Oleh : JENTERA
Of the ambivalent virtues with which she was formerly invested, the evil aspect are now retained: one sacred, she becomes impure. Eve, given to Adam to be his companion, ruined the human race; when they wish to wreak vengeance upon man, the pagan god invent woman; and it is the first – born of these female creatures, Pandora, who lets loose all the ills from which humanity suffers. The other – she is passivity confronting activity, diversity that destroys unity., matter as opposed to form, disorder that resist order. Woman is thus dedicated to evil. (Simone De Beauvoir)
Dalam muqadimah metafisikanya, Aristoteles mengatakan bahwa kecenderungan alami manusia adalah keingintahuan. Dan frase ini, ironisnya, tidak mencakup perempuan, sebab tugas perempuan hanya melahirkan, tidak lebih. Dalam budaya patriarkal, makna perempuan direduksi kedalam fungsi ibu, atau dengan kata lain perempuan direduksi menjadi fungsi reproduksi. Dengan menolak menjadikan fungsi ibu sebagai subyek, budaya, ini secara bersamaan menolak perempuan, keibuan, femininitas. Wacana tentang tubuh yang diasosiasikan dengan feminine, perempuan, wanita yang selalu dianggap rendah.
Bagi Simone De Beauvoir, menjadi manusia bebas adalah menjadi subyek. Menurut Jean Paul Sartre menjadi subyek berarti menjadi manusia yang berpikir. Menjadi subyek berarti seorang manusia yang memiliki formulasi identitas kebebasan, tapi perempuan bermasalah jika dihubungkan dengan perempuan sebagai subyek. Perempuan dalam The Second Sex-Simone De Beauvoir seolah tak punya kehadiran, sebab yang memberi makna adalah lelaki.
Laki-laki dan perempuan didefinisikan secara berbeda oleh tatanan simbolik. Di dalam psikoanalisa Freud pendefinisian siapa itu laki-laki dan siapa itu perempuan dilakukan dengan perspektif analogi biologis. Pendefinisian mengenai siapa itu laki-laki dan siapa itu perempuan kemudian berlangsung dalam suatu skema pengebirian ngeri yang akan kehilangan sesuatu bagi yang memilikinya serta hasrat memiliki bagi yang tidak memiliki. Ungkapan terkenal Nietzsche the will to power adalah sebuah kekuatan hasrat antar manusia yang menggerakkan manusia sebagai subyek dan obyek di luar.
Manusia sebagai subyek, juga didefinisikan sebagai manusia yang rasional dan terpisah dari kehidupan emosional bebas dari diskriminasi dan mitos-mitos serta tabu-tabu. Dalam pengetian itu sebenarnya memiliki kode nilai-nilai maskulin. Kondisi perempuan sangat berbeda dengan laki-laki. Definisi manusia menurut Descartes adalah dasar yang memiliki cogito yang seluruhnya didasaran pada I think. Sedangkan perempuan tidak memiliki kekuasaan cogito melainkan diragukan identitas seksnya, karena didefinisikan sebagai perempuan. Situasi perempuan yang didefinisikan oleh budaya dan masyarakat dengan rujukan pada laki-laki dan bukan dengan dirinya sendiri, dengan demikian perempuan adalah incidental semata, tidak esensial, laki-laki adalah subyek dan dia adalah absolute sedangkan perempuan adalah other. Sedang eksistensi manusia mengharuskan kita meninjau kembali pikiran-pikiran kita mengenai kebutuhan dan kontingensi. Eksitensi tidak memiliki unsur kebetulan dan kualitas-kualitas yang terjadi begitu saja.
Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa laki-laki selalu mempertahankan kekuasaanya sejak awal zaman patrilineal, mereka sudah berpikir untuk mempertahankan agar perempuan selalu dalam keadaan tergantung; hukum dan peraturan diciptakan sedemikian rupa sehingga perempuan benar-benar dibedakan sebagai sosok yang lain. Para penulis komunis seperti Aragon dari Perancis dan Vittorini dari Italia menempatkan perempuan, baik dalam peran sebagai seorang kekasih atau ibu, ditempatkan dalam posisi yang paling tinggi dalam karya mereka.
Setiap mitos selalu mencerminkan subjek yang menggambarkan harapan dan ketakutannya melampaui langit-langit transendensi. Perempuan tidak menempatkan dirinya sebagai subjek, sehingga sampai sekarang perempuan belum menegakkan satu mitos kebesaran , dimana aturan mereka direfleksikan, perempuan tidak memiliki kepercayaan dan agamanya sendiri, mereka masih bermimpi atas dasar impian laki-laki. Menjadi perempuan, kata Soren Kierkgaard adalah sesuatu yang sangat asing, sangat membingungkan, sangat rumit hingga tak seorangpun dapat menggambarkan secara persis, dan gambaran yang bermacam-macam ini juga saling bertentangan sehingga hanya perempuan saja yang bisa menerimanya dengan baik. Tentunya perempuan adalah misterius, “misterius seperti keseluruhan dunia”.