“RUMPI”

CERPEN

Oleh : Nalindra Naraswari (Anggota Bidang Hikmah, Politik, dan Kebijakan Publik PK IMM A.R. Fachruddin 2023-2024)

Seruang penuh rasa obat memenuhi indera penciuman laki-laki yang kini berjalan keluar mengikuti kaki. Hela nafasnya terdengar berat, seakan hidungnya kesulitan meraup oksigen bumi. Ketika kakinya hampir menginjak dunia, diamlah sebentar dia menatap pantulan dirinya di pintu kaca bertuliskan “Klinik Sehat Sejahtera”. Buana, nama sakral yang tersemat dalam dirinya. Semenjak kejadian yang merenggut jiwa orang tuanya, laki-laki yang baru menginjak dewasa ini membawa penyakit yang memerintahnya untuk menjadi seorang pemalas sejati. Bila dilanggar perintah tersebut, yang ada punggung si Buana akan sakit sampai tak sadarkan diri.

Lagian aku belum niat mau nyusul ummi sama abi, kenapa wajahku kelihatan muram sekali? Haduh, raut abu-abu memang gak cocok untuk wajahku yang manis ini,” batinnya sembari menyemangati diri.

Melaju Ia dengan scoopy kesayangannya membelah senja Surakarta. Kerlip cahaya berbalut temaram sambekala memenuhi jalanan kota. Bukan, bukan itu yang menjadi perhatiannya saat ini. Namun sepasang pemulung tua yang duduk di pesisir aspal dengan tangan si wanita yang sesekali menyuapi sang suami dengan sejumput nasi. “Romantis sekali,” gumamnya dalam hati.

“Jadi rindu Magandhi. Menilas sebentar ke sana gaakan jadi masalah kan, ya?”

Menepi sebentar di Indoapril, Buana membeli setidaknya tiga kresek berisi penuh camilan untuk dibawa ke salah satu TPA ceruk kota. Segerombol anak punk yang bernyanyi ria menjadi pemandangan pertama yang menyambut dirinya di sana. Melihat wira datang membawa santapan, anak-anak tadi berlari ke hadapan. Tanpa mengatakan apa-apa, Si dewasa memberikan semua bawaannya dan disambut terima kasih oleh tangan lawannya.

“Anak-anak masi nyari di sekitar Maghandi bang, ntar jam tujuh baru balik” kata anak eksotis bersurai keriting cokelat ketika Buana terlihat mencari keramaian yang biasa terpancar di sana.

‘Nyari’ yang dimaksud ialah pekerjaan memulung sampah berharga di antara reja-reja tak berguna di TPA Mahatma. Sebenarnya hati Buana merasa kecil mendengarnya. Bagaimana tidak? Anak seusia mereka bergotong royong mengamen dan memulung untuk meminta harta dunia. Lain dengannya, yang walaupun sudah dewasa tetap tidak bisa apa-apa. Jangankan bekerja, hanya membersihkan rumah saja dia bisa pingsan kapan saja.

Duduklah mereka di atas tumpukan batu pinggir TPA. “Ingin membahas apa kabar dunia,” katanya. Dari membahas koruptor yang leha-leha sambil makan uang negara hingga kabar Mang Ujang yang katanya kini resmi beristri dua.

“Kalau boleh kami meminta, kami ingin lancar membaca agar bisa mengerti kompas kahuripan, bang. Kami sudah coba meminta belas kasih orang atas, bahkan kami hantarkan bertumpuk kertas ke kandang pemerintahan, namun sampai sekarang gaada satu pun bantuan yang datang. Jangankan bansos, tanda-tanda untuk memeriksa saja sepertinya gak nampak niatnya. Benar juga sih, lagian siapa juga orang mewah yang mau terjun ke tempat sampah, selain Bang Ana? Gaada, bang.” Ucap bocah bertato matahari yang sedari tadi diam mengamati.

Semilir malam menarik pergi hela napas Buana. Diam seribu bahasa adalah kelanjutan dari cerita mereka. Semua memikirkan perkataan salah satunya. Pundak Buana terlesu memikirkan solusi untuk masalah tadi. Dirinya sangat ingin membantu, tetapi dia tidak bisa sendiri. Masih ingat kan kata-kataku tadi? Dia adalah budak pemalas sejati.

Jauh di seberang tempatnya, terlihat belia asing yang asyik memilah sekeresek bening berisi alat tulis impresi. Hal sepele, namun membuat otak Buana mendapat fantasi. Dia lantas pamit undur diri dan disambut kebingungan dari penghuni Magandhi.

“Abang akan bantu carikan kompas buana biar kamu bisa berdiri tegap mengangkat dunia,” kata si dewasa sebelum suara mesin mengisi pengantar perpisahan keduanya.

Ketika mentari sudah mulai bekerja, Buana juga selesai menghias tiga kardus bertajuk donasi untuk budak Mahatma. Dibantu lima temannya, hampir 4 juta sudah terkumpul kurang lebih dua minggu lamanya, sangat cukup untuk keperluan mencari ilmu di Pinggir TPA.

Dan disinilah Ia, di depan 20 murid yang duduk bersila menatap buku di depannya. “Rumpi,” alias rumah mimpi, begitulah insan di sana menyebut pondok yang memberi mereka wawasan berlogika secara cuma-cuma. Rutin tiga kali seminggu, pukul enam hingga tujuh, Buana dan teman-temannya menjelma menjadi guru dan berlagak menyebarkan ilmu. Semuanya secara sukarela dan tanpa memetik bunga dana. Bagi mereka, hanya melihat senyum putra-putri Mahatma Gandhi ketika membaca menjadi bayaran yang sangat setimpal untuk kerja keras mereka.

“Bukan masalah bila diriku tak bisa sesukanya, yang penting aku bisa berperan dalam membantu mereka menemukan senyum dan melakukan hal yang disukanya.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *