Oleh : Chikmatun Chasanah
Aspirasi-aspirasi di kanal media sosial sudah menjamur dan busuk, lantas semua aspirasi dari berbagai sudut Indonesia bertumpuk menjadi satu. Dalam sebuah kolom komentar ada yang membahas hal yang sama dengan pandangan yang berbeda, beberapa memiliki dasar yang kuat sedangkan beberapa lagi menjadi sangat bijak hanya karena membaca satu judul berita yang sebagian kecil malah memprovokasi masyarakat. Lantas apa pentingnya membahas suara mahasiswa di sini? Sedangkan media sosial sudah terbuka lebar dan sangat bebas untuk diakses. Dengan adanya kebebasan tersebutlah tulisan ini hadir sebagai representasi dari keresahan yang dialami oleh para mahasiswa.
Seperti yang kita tahu, akhir-akhir ini BEM UI kembali hadir menyuarakan kritik terhadap Presiden Joko Widodo, postingan instagram yang memberikan gelar “Jokowi: The King of Lip Service” dengan foto Presiden Joko Widodo memakai jas dan mahkota di kepala, menjadi viral di media sosial dan menuai banyak kritikan. Lantas apa hubungan tulisan ini dengan postingan tersebut?
Bukan hanya sekadar ikut-ikutan, penulis berusaha memaparkan bagaimana keadaan Indonesia pada bagian kebebasan menyampaikan kritik, dan menilik bagaimana hegemoni megungkung kebebasan berpendapat mahasiswa.
Sepanjang sejarah, mahasiswa bukanlah golongan anak muda yang apatis terhadap jalannya pemerintahan Indonesia dan sub-sub lain yang ada di negara ini. Bukan tanpa alasan penulis mengatakan hal tersebut, seperti yang kita tahu di sini, bahwasanya pada tahun 1966, 1974, 1998, dan sebagainya, mahasiswa bergerak dengan masif dan tertata demi menggapai wacana-wacana yang menurut mereka memang perlu direalisasikan secara tepat dan cepat.
Melihat perjuangan masa lalu yang sudah dilakukan oleh mahasiswa pada masa itu, sangat penting untuk melestarikan kembali semangat tersebut, karena mahasiswa merupakan tonggak-tonggak negara yang tidak bisa terus menerus dibungkam suaranya. Pergerakan mahasiswa harus terus di revisi dan diperbaharui sebab zaman sudah berjalan dan objek yang diperjuangkan sudah berbeda. Melihat cara yang dilakukan BEM UI misalnya, kita mahasiswa tidak lagi terus menerus beridiri di jalan atau mendobrak pintu istana, pada masa pandemi dan digital seperti ini perjuangan yang kreatif dan menarik minat baca masyarakat adalah cara unik untuk tetap mengkritisi pemerintah tanpa perlu bersikap bodoh dengan turun kejalan di masa pandemi, meski tidak menutup kemungkinan hal tersebut tetap harus dilakukan.
Salah satu pasal yang akan penulis angkat di artikel ini dan tentunya juga sempat di paparkan oleh BEM UI pada postingannya yaitu mengenai pasal karet UU ITE dan kaitannya dengan hegemoni dari berbagai pihak. Dengan adanya UU ITE ini memang mengindikasikan bahwasannya Indonesia sudah tidak kolot dan mengikut perkembangan zaman. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan DPR pada 25 Maret dimaksudkan untuk menjawab permasalahan hukum yang seringkali dihadapi terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Esensi UU ITE melingkupi seluruh transaksi berbasis elektronik seperti komputer serta jaringan dan memiliki kekuatan hukum. Namun, sangat disayangkan di sini, adanya UU ITE menimbulkan banyak sekali perdebatan dikalangan masyarakat sebab keberadaannya justru menjadi sarana untuk membungkam aspirasi rakyat yang dinilai mengancam pemerintah, belum lagi buzzer di media sosial justru memperburuk kebebasan berpendapat mahasiswa atau masyarakat pada umumnya.
Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet), lembaga nirlaba yang berfokus pada kebebasan berekspresi mencatat sejak UU ITE diundangkan pada 2008 sampai 31 Oktober 2018, terdapat sekitar 381 korban UU ITE. Sekitar 90 persen dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik dan sisanya dengan tuduhan ujaran kebencian. Banyaknya pasal karet membuat UU ITE menjadi undang-undang kontroversial yang seakan-akan keberadaannya untuk sekadar melindungi presiden dan bawahannya. Dari sini penulis memaparkan hubungannya dengan hegemoni yang mengurung mahasiswa. Menurut Edward Said, ada tiga kekuatan yang mengurung keintelektualitasan mahasiswa, yaitu ; Negara, Partai Politik dan Kampus itu sendiri, lantas apa hubungannya dengan UU ITE, seharusnya UU ITE menjaga para mahasiswa untuk menyuarakan pendapatnya secara bebas dan aman tanpa perlu takut diserang buzzer atau hal lainnya. Justru adanya UU ITE membuat para pengkritik dijerat dengan pasal karet, itu artinya demokrasi di Indonesia sudah diujung tanduk dan julukan Negara Demokrasi tinggal nama. Seperti yang dilakukan oleh BEM UI, kita bisa melihat bahwasannya Universitas Indonesia memanggil BEM UI untuk mengklarifikasi postingan mengenai Jokowi, artinya kekuatan kampus sendiri mengurung para mahasiswanya untuk berekspresi dan mengkritik perbuatan pemerintah, kampus selalu berusaha mewanti-wanti mahasiswanya untuk beridiri pada garis aman, jangankan mengkritik pemerintah, ketika mahasiswa berusaha mengkritik jajaran rektor saja mahasiswa langsung dibungkam dengan berbagai alasan-alasan yang akhirnya menjadikan mahasiswa berpikir dua kali untuk mengkritik kembali.
Hegemoni paling kuat yang mengikat mahasiswa adalah Negara itu sendiri, dan partai politik sering kita dengar di media sosial ungkapan semacam “Waktu jadi mahasiswa jadi aktivis, kalo udah dewasa masuk parpol dan duduk di kursi empuk jadi realistis” Bisa kita lihat disini bahwa memang tidak mudah untuk menyatukan pendapat seluruh Indonesia, tapi pernyataan seperti diatas bukanlah suatu yang patut untuk dibicarakan sebab salah satu tugas mahasiswa untuk lebih peduli dengan keadaann Indonesia dan salah satu caranya adalah dengan mengritik dan tentunya berusaha membenarkan sistem yang sudah rusak dari bawah. Ungkapan tersebut di atas menggambarkan bahwa menjadi aktivis menjadi suatu yang salah dikarenakan menilai perilaku dari beberapa orang yang sifatnya tidak bisa disama-ratakan. Terkait dengan mahasiswa dan tawaran masuk partai politik bukanlah suatu hal yang salah apabila ketika masuk parpol dan berdiri menegakkan keadilan dan tentunya bukan cuma sekadar omong kosong belaka.
Jadi, beberapa hal yang penulis paparkaan di atas menggambarkaan bahwasanya kebebasan berpendapat di Indonesia masih menjadi suatu hal yang perlu terus ditingkatkan porsinya meski banyak penolakan dan banyak pertentangan yang hadir dari berbagai sub. Suara mahasiswa harus terus digaungkan demi kepentingan bersama, dan tentunya bersuara secara masif dengan dasar yang kuat sebab gerakan mahasiswa harus terus dilestarikan keberadaannya.
Karena jika mahasiswa sudah diam dan dibungkam, maka dengan cara apalagi negara ini bernafas secara jujur?