“Dari keterasingan agama ini bermula, dan kepada keterasingan ia kembali”.
Oleh : Nurul Inayah Tihurua (Kader IMM A.R. Fachruddin)
Secuil kalimat ini akhirnya kita saksikan kebenarannya, kebenaran bahwa betapa syariat kita mulai terlihat aneh di mata banyak manusia. Bahkan manusia yang beridentitas islam sekalipun, hal ini menunjukkan bahwa betapa Islam seharusnya bukan hanya sebagai agama, bahwa identitas bukan sekadar tertulis di atas kertas, bahwa islam adalah identitas kita yang penuh dengan tanggungjawab dan patut dijaga. Islam penuh dengan aturan yang justru akan mampu menjaga kita dari kefanaan dunia dan nafsu kita sendiri.
Identitas sendiri merupakan cerminan diri kita, di situlah letak tanggungjawab kita. Apa-apa yang kita tampilkan, kita bincangkan, dan kita putuskan seharusnya mampu mencerminkan identitas kita sebagai umat muslim.
Berbeda dengan yang seharusnya, coba kita tengok diri kita sendiri atau lingkungan sekitar kita, ada berapa banyak orang beridentitas muslim yang kemudian mengerti aturan-aturan yang berlaku dalam islam itu sendiri?. Banyak dari kita yang tidak mengerjakan bahkan sampai tidak menerima atau menganggap aneh salah satu dari syariat islam. Padahal, aturan-aturan tersebut dibuat untuk menjaga agar kehidupan kita tetap terarah, mampu mengahadapi kehidupan, tidak tertipu dengan kepalsuan dunia, dan selalu dalam lindungan Allah SWT.
Di antara ajaran Islam yang mulai pudar dan dianggap aneh adalah ta’aruf, banyak orang kemudian menganggap aneh hal tersebut. “Bagaimana dua orang yang tidak saling mengenal bersatu dalam ikatan pernikahan” Kalimat-kalimat demikian seringkali kita dengar. Sejatinya orang-orang yang berpendapat demikian adalah mereka yang tidak mengerti aturan dan tujuan dari ajaran tersebut. Dan proses menuju pernikahan yang benar menurut mereka adalah dengan cara berpacaran, sedangkan kita semua tahu bahwa pacaran memiliki lebih banyak dampak negatif daripada positifnya, lalu untuk apa kita melakukan sesuatu yang kemungkinan mendapati keburukannya lebih besar?. Generasi saat ini sudah banyak yang ter doktrin dengan pemahaman-pemahaman dan budaya barat yang ditanamkan melalui sosial media dan tokoh-tokoh publik yang seharusnya mencontohkan kebaikan. Selain ta’aruf, cara berpakaian juga semakin dianggap aneh. Saudara-saudara kita yang bercadar dan lelaki yang bercelana cingkrang seringkali disandingkan dengan kata-kata teroris, radikal, dan lainnya yang berkonotasi tidak baik. Dan mirisnya, mereka yang berpendapat demikian adalah orang-orang yang cenderung didengar, dan berkuasa atau memimpin.
Semakin ke sini, semakin aneh saja jalan islam ini dipandang, maka bersemangatlah kita generasi pengemban dakwah di medan yang tak mudah ini. Jalan ini memang takkan pernah mudah, semangat kita perlu terus dibakar, ilmu kita perlu terus ditambah, ketabahan kita perlu terus dipupuk, dan diri kita harus terus diperbaiki.
Di zaman ini, kita temui kebodohan yang merajalela dengan rasa bangga. Banyak orang merasa bangga dengan kebodohan yang dipunyai, mungkin karena tak lagi ada yang benar-benar memberitahu perbedaan antara kemajuan dan kerusakan, atau banyak yang memberitahu namun kitanya saja yang tak mau mendengarkan.
Kita berbangga dengan kerusakan moral yang berkembang dengan dalih zaman now, kita berbangga dengan pelanggaran kodrat manusia dengan dalih open minded, kita bahkan menanggalkan aturan-aturan dengan dalih kebebasan adalah hak. Lalu besok-besok apalagi yang akan terjadi? Dengan dalih apalagi kita beralasan?
Kerusakan-kerusakan tersebut dapat terjadi, tak lepas dari peran pemimpin dan tokoh masyarakat yang menjadi contoh bagi banyak orang, tapi seperti yang kita tahu, banyak dari pemimpin kita bahkan menganggap itu sebagai suatu kemajuan yang perlu dibanggakan. Itulah mengapa penting bagi kita memiliki pemimpin yang baik, yang taat aturan, yang kenal syariat, dan yang takut pada Tuhannya. Karena pemimpin adalah contoh, adalah tontonan, adalah imam yang akan terus memberikan aba-aba dan diikuti oleh jamaahnya. Maka sebaik-baik pemimpin adalah Rasulullah SAW, sebaik-baik teladan adalah Beliau. Banyak sikap Rasulullah yang seharusnya kita jadikan contoh dalam memimpin, seperti bagaimana cara Beliau bersikap, mengambil keputusan, dan menghamba pada Tuhannya. Pemimpin sungguh memiliki peran penting dalam mengantarkan masyarakatnya kepada kemajuan atau kemunduran.
Lalu setelah semua yang telah terjadi saat ini, kita harus menyadari sabda Rasulullah SAW di atas, bahwa islam hadir dan akan kembali dalam keadaan asing, hal tersebut sudah menjadi sunnatullah. Tapi adalah kewajiban bagi kita yang mengerti, untuk memberikan pengertian dan menunjukkan kecenderungan sikap kita kepada kebaikan. Memberi manfaat pada sekitar di era yang tak tentu seperti ini adalah hal yang sulit, tapi coba kita ingat-ingat lagi betapa Rasulullah SAW memerjuangkan ajaran ini agar sampai pada kita. Tak apa menjadi asing, karena insyaAllah dalam keterasingan ini, akan kita temui kebahagiaan yang kekal di ujung jalan juang saat kita juga berusaha konsisten menjalankan dan memerjuangkan kebenaran.
Semoga kita terus berada pada jalan ini, jalan mencari ridho Sang Kholik. Semoga kita mampu seikhlas Thalhah yang pada detik-detik kekalahan saat perang Uhud masih mampu berkata dengan lirih “Ya Allah! Ambil darahku hari ini sekehendakMu sampai Engkau ridho padaku”. Semoga di jalan dakwah dan juang ini, Allah asingkan kita dari keburukan yang merajalela.
Dan bersenang hatilah kamu yang diasingkan.