Cinta, Obsesi dan Tipu Muslihatnya

Oleh : Mentari ( Peserta DAD A.R Fachruddin 2021)

Sejatinya, cinta itu membawa kedamaian, ketenteraman, kenyamanan, dan keindahan. Obsesi tidak layak terjadi karena ia adalah noda. Namun, bagaimana jadinya jika manusia itu menjajah manusia lain dengan mengatasnamakan cinta? Bisakah kau membayangkannya? Lantas, apa bedanya dengan nafsu?

Rayuan, merupakan simbol awal dalam dinamika percintaan. Kita sering tertipu dalam simbol-simbol yang dihadirkan, seolah-olah cinta itu benar adanya. Rayuan adalah permainan dan nasib. Menganggap bahwa rayuannya merupakan manifestasi cinta sesungguhnya, ini adalah kesalahan besar dalam peradaban dunia konsumer kita saat ini. Rayuan.. hanyalah serangkaian kata-kata tanpa makna. Apa yang ditampilkan rayuan adalah kepalsuan dan kesemuan. Apa yang diinginkan rayuan bukanlah sampainya pesan dan makna-makna, melainkan munculnya keterpesonaan dan gelora nafsu; gelora seksual dan gelora berkuasa.

Terkadang pemujaan kepada seseorang bukan buah kesadaran objektif tentang keunggulan figur yang dipuja, tapi karena mempertahankan gengsi dan ego yang terlanjur menerjang semua resiko dalam polemik sengit dan polarisasi yang tajam. Kepalsuan dan ketanpamaknaan ini, mereka adalah wajah tepeng cinta. Godaan sebuah wajah ekspresi senyum ritual dan penampakan-penampakan yang diritualkan tidak lagi tertuju pada esensi cinta itu sendiri. Melainkan nafsu obsesi yang bertopengkan ketulusan.

Mereka yang sadar akan kengerian ini pun seharusnya mereka tak mudah tertipu oleh rayuan. Tapi nyatanya masih banyak diantara mereka yang tertipu oleh topeng visualisasi. Make-up yang ditampilkan pemain masih menjadi pertimbangan penting dalam permainan ini. Strategi-strategi dan aturan-aturan yang ditampilkan untuk memikat hanya dapat merefleksikan objek-objek yang berhadapan dengannya, tanpa mampu mengungkapkan kebenaran mereka.

Tidak ada pemain yang lebih besar dibanding permainan itu sendiri, demikian kutipan Rollerball. Diary of the Seducer milik Kierkegaard mengklaim bahwa dalam rayuan, subjek tidak pernah menjadi induk dari rencana induknya, dan bahkan ketika rencana induk dilaksanakan dengan kesadaran penuh, ia masih menyerah kepada aturan-aturan permainan yang melampauinya.

Setelah seorang menerima rayuan dengan bodohnya menihilkan referensial; menjadikannya sebagai objek keterpesonaan, lalu memberikan umpan balik pada subjek. Disini permainan rayuan ­­- penentuan nasib ­­­­­­­­­­­­­- babak selanjutnya dimulai. Subjek akan mulai terobsesi pada figur pujaannya. Seperti permainan sepak bola, bola akan digiring mati-matian demi kuasa. Posesifitas akan memulai perannya. Pelan namun pasti dia menjelma polarisasi yang tepat; kepedulian­-melarang-mengatur. Penjajahan paling klimaks dalam hubungan antar manusia adalah obsesifitas.

Yang sangat berbahaya dari posesif adalah relasi yang berujung pada kekerasan. Secara psikologis mereka melakukan tindak kekerasan agar pasangan mereka taat pada setiap perkaataannya dan melakukan apa yang mereka inginkan. Posesifitas adalah hal yang hanya mementingkan ego mereka sendiri. Faktanya kekerasan dalam hubungan seringkali disembunyikan, jarang dilaporkan dan ditindaklanjuti, sering dianggap bukan masalah serius.

Dalam The Seduction – Jean Baudrillard, kegilaan yang mengendurkan genggaman pasangan mendorong mereka menjadi ekstrem, dimana makna tidak lagi mampu eksis. Pemihakan dan dukungan irrasional hanya melahirkan intoleransi dan sikap ekstrem berupa pemutlakan sesuatu yang relatif dan universalisasi sesuatu yang personal. Akal kita akan dihantam oleh ketidakrasionalan hasrat kita. Sedikit demi sedikit nafsu akan memanipulasi pengendalian stereo akan bahaya dalam relasi semacam ini.

Jadi godaan dihadirkan dalam satu gerak tunggal sebagai sebuah konspirasi kekuatan; sebuah bentuk pengorbanan, sebuah kejahatan yang sempurna, sebuah karya seni; godaan dipertimbangkan sebagai salah satu seni Beaux (seperti pembunuhan), sebuah hentakan pikiran, dan sebuah bentuk estetika spiritual. Sebuah bentuk pertarungan atau peperangan; bentuk yang rusak. Godaan seperti hubungan permainan perang. Di dalamnya seorang akan menemukan gerak godaan dalam setiap strategi.

Ini bukanlah cinta, melainkan sebuah penyelewengan; cinta berjalan tidak seiring dengan rayuan atau godaan. Mereka, bisa jadi berjalan sendiri-sendiri menuju tujuan masing-masing. Dengan kata lain, ketika mencintai seseorang, haruskah berakhir dengan rayuan (gelora nafsu, gelora seksual, dan gelora berkuasa)?

Sebab cinta bukanlah seperti sebuah permainan, yang di sistem dengan sedemikian rupa dan dijadikan alat drama yang dimainkan, sehingga nampak tersusun dengan rapi, dan pada akhirnya terselesaikan setelah menemukan pemenang. Namun seperti kata penyair sufi terkenal Jalaluddin Rumi, dia mengatakan “Love is the mirror of Divine beauty” bahwa Cinta adalah refleksi (cermin) keindahan ilahi. Sehingga apa yang tersampaikan haruslah keindahan, kedamaian, ketentraman, dan kenyamanan sebagaimana Tuhan merawat hamba-hambaNya.

Mencintai bukanlah tentang siapa yang akan kita cintai melainkan bagaimana kita mencintai. Rayuan atau godaan hanya simbol tawar-menawar dari subjek untuk mendapatkan apa yang di inginkannya. Itulah mengapa mencintai pasangan orang itu tidaklah salah, asalkan cinta itu tak disertai hasrat (nafsu) ingin memiliki, memilikinya sebagai pelayan nafsu. Dan jika ragu maka tanyakan pada hati, sebab hati adalah saksi yang tidak akan menerima suap.

Pengendalian hasrat terhadap orang lain akan membawa pada kesadaran dalam upaya memahami intensitas dari sebuah relasi, seseorang harus membuang dirinya dari gagasan bahwa semua kepuasan berasal dari pemuasan sebuah hasrat.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *