Bukan Refleksi Hari Pendidikan

KARYA KADER OPINI

Oleh : Untung Prasetyo Ilham

“Tidak perlu menjadi seorang mahasiswa jurusan pendidikan, atau menjadi professor dibidang pendidikan untuk bisa mengemukakan pendapat perihal problematika pendidikan yang terjadi di indonesia. Cukup jadi seorang perasa yang peduli pada nasib anak cucu kita.”

Judul tulisan ini sengaja dibuat seperti itu, karena tulisan ini memang tidak ditulis dan direncanakan untuk menyambut hari pendidikan yang diperingati setiap 2 mei, ya biasanya dibumbui dengan demo atau aksi berbagai macam element khususnya mahasiswa. Tentu tulisan ini tidak akan jauh dari implikasi adanya liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan yang telah lama mengakar dalam proses penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Meski memang penulis tidak akan mengulas apalagi mengupas beberapa istilah diatas karena akan lebih asyik ketika di diskusikan. Penulis hanya ingin sedikit mengingat berbagai macam praktik ndagel yang terjadi di dunia pendidikan yang penulis lihat atau  bahkan penulis alami sendiri. Tentu sama sekali tidak menyudutkan satu dua pihak, ini hanya menjadi pengingat dan refleksi bagi diri. Tidak ada sama sekali tuntutan agar semua orang sepakat dengan tulisan ini namanya juga opini wkwkwk.

Memahami Masalah Pendidikan Indonesia

Berusaha mengenal problem pendidikan yang ada membuat kita sedikit memahami kondisi bangsa yang sebenarnya: suatu negeri yang system pendidikanya belum tuntas, masalah ekonomi yang tak terbatas, dan kondisi social yang benar-benar parah. Membicarakan pendidikan maka kita berbicara perihal apa yang mesti kita rubah guna menghadirkan generasi yang lebih “mapan” tentunya, membicarakan masa depan bangsa atau lebih sempitnya membicarakan nasib anak-anak kita. Ciyeee kita

Tentu persoalan pendidikan telah banyak dikemukakan oleh orang-orang sebelumnya dan tumpukan buku hasil kegelisahan para tokoh sebelumnya. Pendidikan kaum Tertindas; Paulo Freire. Pendidikan Untuk Orang Miskin; Muhammad Saroni. Pendidikan Rusak-Rusakan ; Darmaningtyas atau Pendidikan Nggak Tinggi-Tinggi amat yang ditulis oleh ASU (Aliansi Suara Undip). Dan ribuan buku lain perihal pendidikan. Semuanya berbicara perihal pemerataan, akses, kualitas, sampai alternative pendidikan yang mungkin bisa dilakukan untuk memperbaiki system pendidikan yang ada. Atau lebih tepatnya untuk menghasilkan manusia paripurna.

Sedangkan tulisan ini hadir tidak akan membahas hal yang bersifat filosofis macam pendidikan kaum tertindas, tapi penulis ingin menunjukan hal-hal praksis yang bisa kita temui di depan mata saat bersinggungan langsung dengan dunia pendidikan atau malah bisa jadi kita pernah terlibat langsung dan menjadi korban dalam praktek ndagel yang ada.

PKM “Program Korupsi Mahasiswa” dan Dana Hibah ; Proses Pembibitan Koruptor Sejak Dini

Bagi mahasiswa tentu tidak asing dengan PKM Program Kreatifitas Mahasiswa. Program ini merupakan suatu wadah yang dibentuk oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang tujuannya guna meningkatkan kreativitas dan inovasi mahasiswa. Bentuknya beragam, mulai dari kewirausahaan, penelitian, pengabdian masyarakat, dll. Tentu ini menjadi suatu wahana yang sangat baik dan relevan ketika bicara perihal peningkatan kreativitas dan inovasi. Tapi ternyata telah menjadi rahasia umum ketika istilah ini diplesetkan menjadi Program Korupsi Mahasiswa tentu ini tidak hanya PKM tapi segala jenis Program Hibah juga sama. Bukan tanpa sebab jika istilah ini diplesetkan seperti itu. Karena jika kita sadari setiap proses yang dilalui dalam pengerjaanya memang menjadi wadah pembibitan koruptor yang sangat baik untuk masa depan.

  1. Kreatif melakukan Mark Up anggaran
    Mulai dari proses pembuatan kita diajakan bagaimana caranya melakukan markup anggaran, bahkan bukan hanya diajarkan. Tapi diwajibkan melakukan markup anggaran. Pengaju proposal dipaksa untuk mengajukan dana sesuai dengan alokasi dana yang dikelurkan dalam buku panduan penulisan proposal PKM atau hibah. Jika anggaran pengaju tidak mencapai atau medekati, maka bisa dijamin dosen pembimbing akan merevisi angaran tersebut.
  2. Kreatif melakukan pemalsuan penelitian
    Setelah proposal didanai praktik korupsi dimulai. Mulai dari hanya melakukan penelitian sebatas formalitas belaka sekedar mencari bahan dokumentasi, dan penggunaan anggaran tidak sesuai mestinya misalnya pembelian bahan penelitian tidak sesuai dengan ajuan dana. Tentu ini terjadi bukan tanpa sebab, banyak factor yang mempengaruhi salah satunya karena dana yang cair tidak 100% dari ajuan proposal. Tapi bukankah hal ini tidak bisa menjadi alasan?
  3. Inovatif membuat nota palsu dalam pelaporan.
    Pada praktik pengeolan dan pelaporan ternyata ada kendala lain dalam proses pencairan dana yang didapatkan oleh pengaju proposal yang telah lolos yakni proses pencairan bertahap sebanyak 3 kali (kalau tidak salah). Hal ini memaksa kita membuat pelaporan uang yang belum kita gunakan. Sehingga nota palsu atau nota siluman adalah sebuah jawaban konkrit yang lebih sering diambil dibandingkan pengunaan dana talangan dari pihak kampus maupun individu. Belum lagi laporan yang musti diserahkan harus balance dengan pengajuan, maka sisa dana 30% tetap harus dilaporkan serapannya 100%. Nota palsu adalah solusi.

Kenapa PKM dan Dana hibah menjadi sorotan? Hal ini terjadi karena PKM dan Hibah masuk dalam borang akreditasi kampus, sehingga bapack dan iboe dosen mendorong. Bahkan kadang MEWAJIBKAN mahasiswa dan mahasiswinya untuk mengajukan proposal PKM dan hibah. Bahkan tidak jarang akan memberikan reward pada pengaju baik yang lolos maupun yang tidak (uang ganti proposal). Eits, bicara soal akreditasi kan kepentingan nanti akan kita bahas dibawah (kalau sempat).

Sampai sini bagaimana? Pernah jadi bagian dari praktik ndagel ini? Engga papa, saya juga wkwk.

Mahasiwa ; Sapi Perah Penelitian?

Sesuai dengan Tri dharma peguruan tinggi / Catur dharma perguruan tinggi seorang dosen memiliki kewajiban melakukan penelitian dalam periode tertentu. Kalau tidak salah hal ini diatur dalam Permenritek Dikti Nomor 44 Tahun 2015. Selain sebagai kewajiban, penelitian bagi seorang dosen juga menunjang dalam proses kenaikan jabatan fungsional yang terdiri dari asisten ahli, lector, lector kepala, sampai pada guru besar.

Kenaikan jejang jabatan fungsional ini akan diukur salah satunya berdasarkan angka kredit atau lebih dikenal dengan KUM. KUM ini didapat dari berbagai cara, salah satunya dengan dipublikasinya penelitian dalam jurnal yang di akui.

Lantas, apa hubungannya KUM, Dosen, dan Mahasiswa sebagai sapi perah penelitian?

Hal yang tidak bisa kita pungkiri dari kehidupan dosen adalah padatnya jadwal mengajar, sehinga kadang kita akan menemukan dosen yang tidak melakukan penelitian karena kendala tersebut. Pada beberapa kasus kita akan menemukan dosen yang memaksa mahasiswanya untuk membuat penelitian yang bisa lolos pada jurnal nasional yang diakui dengan mencantumkan nama dosen tersebut sebagai penulis kedua, atau ketiga. Atau bahkan kadang yang lebih parah kita akan menemukan dosen nakal yang mencantumkan namanya sebagai penulis pertama dalam penelitian yang dilakukan oleh mahasiwanya. Bahkan kadang tuntutan dosen macam ini sampai menghalangi si mahasiswa menyelesaikan jenjang pendidikannya. Melihat hal ini tentu miris, dosen yang lekat dengan dunia akademik melakukan kejahatan pada ilmu pengetahuan itu sendiri.

Tentu kesibukan tidak sepantasnya dikambing hitamkan guna menghalalkan praktik macam ini. Mahasiswa di jadikan sapi perah penelitian, dan dosen mengakuisisi hasil penelitian dengan mencantumkan namanya sebagai penulis pertama dari penelitian tersebut. Hanya demi KUM dan jabatan fungsionalnya.

Jadi, bagaimana? Pernah ketemu dosen macam ini? Jadi tau kan kenapa ngebet bgt nyuruh kita penelitian masuk ke jurnal yang diakui? Ya bisa jadi KUM adalah jawabannya. bisa jadi lho ya.

Obral Gelar doktor Horor Causa

Seperti yang kita ketahui untuk mendapatkan gelar doctor tentu perlu selesai mengikuti program doctoral (s3) di universitas tertentu. Atau bisa juga mendapatkan gelar doktor Honoris Causa bagi orang-orang yang dianggap memberikan sumbangsih pada bidang ilmu pengetahuan tertentu. Bagi saya gelar doktor sejati adalah yang dibagian pertama. Karena untuk bisa lulus s3 perlu melewati seleksi ketat, dibimbing promotor, dan disertasi yang saya yakin tidak akan abal abal. Gelar Dr. macam ini didapat dengan perjuangan, kerja keras, waktu yang panjang dan konsistensi.

Kemudian yang kedua DR. HC sebenarnya juga menjadi gelar yang sangat bergengsi ketika diberikan kepada orang yang tepat. Beberapa tokoh yang mendapatkan gelar Dr.HC. Ini adalah Soekarno, kemudian Moh. Hatta. Ki Hajar Dewantara, bahkan sampai Gus Dur. Kenapa saya katakan pada orang yang tepat, karena tidak perlu kita tanyakan lagi kapasitas dan kredibilitas tokoh penerima gelar Dr. HC.  tersebut. Siapa yang akan meragukan Soekarno dan Hatta? Bapak proklamator. Siapa juga yang akan menggugat DR. HC ki Hajar dewantara sebagai bapak pendidikan Indonesia? Bahkan Gus Dur yang sering disebut-sebut sebagai wali ke 10 itu.

Tapi pada perjalannya ternyata ada pergeseran bahkan pertanyaan besar. Saat ini penganugerahan DR. HC berdasarkan pertimbangan apa? Tidak jarang public malah terheran-heran dengan dianugerahkannya Dr. HC pada seseorang yang public anggap tidak pantas mendapatkannya. Atau lebih halusnya public menanyakan apa yang membuat sosok tersebut mendapatkan gelar Dr. HC?

Belakangan kita dihebohkan dengan penganugerahan gelar Dr. HC oleh kampus X yang dianggap bersifat politis, karena tokoh yang dianugerahi dianggap tidak memberikan sumbangsih dalam bidang ilmu tertentu. Bahkan beberapa pernah terjerat kasus hukum tertentu.

Sekarang ini public dipenuhi tanda tanya perihal standart penganugerahan doctor honoris causa. Doktor HC yang sekarang ini tercecer dimana-mana menjadi sangat sulit dipahami, kita tidak tahu sumbangsihnya apa, kita tidak menemukan karya yang bisa dinikmati darinya, eh ternyata tiba-tiba mendapatkan gelar doctor HC dari universitas antah berantah.

Kalau saya ini adalah doktor hasil Disertasi maka saya akan sangat sakit hati dengan adanya obral-obral doctor HC ini. Begitu berat mendapat gelar Dr. jalur disertasi eh disisi yang lain ada orang dapat Dr. HC hanya karena urusan politis. Berat…

Tentu soal doctor HC ini juga punya pembahasan yang hampir sama dengan penganugerahan professor jaman dulu (atau mungkin sampe sekarang?). Tapi ya nanti kapan-kapan kita bahas kalau diberi kesempatan.

Sebenarnya masih banyak yang ingin saya tuliskan, mulai dari lembaga pendidikan yang bertransformasi menjadi pasar, guru/dosen/tenaga pendidik yang menjadi biro dan calo dalam lembaga pendidikan, semester pendek yang mengubah posisi ilmu bukan lagi sebagai proses melainkan sebagai produk, otonomi pendidikan rasa neo-liberalisasi  atau privatisasi, sampai  pembacaan pendidikan yang salah, tapi karena kopi sudah habis dan kawan-kawan saya udah pada pulang jadi lebih baik saya cukupkan. Dari pada kudu balik sendirian wkwkw.

Semoga tak pernah usai kita berbagi kegelisahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *