Bata

CERPEN KARYA KADER

Oleh : Wahyu Firatul Jannah (Kader Bidang Tabligh dan Kajian Keislaman)

Di satu pagi hari yang cerah berawan

“Bangun… Hei bangun, apa kau akan membolos sekolah lagi hari ini?” Tanya ibu sambil tanganya memukul pantatku.

“Ini masih terlalu pagi untuk bekerja” Ucapku. “Bukankah lebih baik aku membantu ibu bekerja daripada hanya duduk tenang mengahadap buku?” Lanjutku.

“Akan jadi apa kau nanti? Kita kaum miskin hanya mengandalkan ini” Tunjuknya ke isi di dalam kepala.

“Cepat mandi!!!” Mendengar nada suaranya yang sudah meninggi, aku langsung bergegas bangun menuju sumur dengan sebelumnya telah meyambar handuk yang tergantung di dinding papan kamarku. Aku hanya mandi asal-asalan yang penting badanku basah terkena air yang baunya saja tidak sedap, menggunakan setelan seragam putih biru yang warnanya sudah tidak cocok dengan namanya, berlari sekuat tenaga setelah memakai sepatu yang alasnya pun sudah menganga. Ini adalah ceritaku, cerita hidup seorang anak yang hanya tumbuh besar bersama ibunya, yang telah merasakan sulit dan pahitnya kehidupan. Bata, itulah nama yang ibu berikan padaku. Saat ini aku tidak tahu apa artinya, namun di akhir cerita, aku paham mengapa Bata.

TENG TENG TENG!!!      

“Sepertinya kau berlari lagi ke sekolah hari ini?” Tanyanya sambil tertawa.
“Seperti biasa” Jawabku dengan suara napas yang masih terengah-engah.
“Ayo cepat ke kelas sebelum guru menjengkelkan itu tiba duluan” Serunya yang kujawab dengan anggukan.

Namanya Irman teman sekelasku, lebih tepatnya satu-satunya orang yang mau berteman denganku. Mungkin karena nasib kami hampir sama dan menjadi teman yang cocok satu sama lain, walaupun dia lebih beruntung dariku. Irman masih mempunyai orang tua yang lengkap dan bapaknya berprofesi sebagai supir angkot masih bisa memenuhi segala kebutuhannya.

Di dalam kelas

“BATA!!! Apa yang kamu ketahui tentang kehidupan?” Sepertinya aku ketahuan melamun lagi oleh Pak Gun, batinku.

“Eh… Kehidupan?” Tanyaku ke Irman memastikan yang dijawab anggukan olehnya.

“Menurutku kehidupan adalah ketidakadilan”

“Ketidakadilan? Maksudmu?” Tanyanya dengan mata yang menatap lekat kedua mataku.

“Kenapa ada si kaya dan si miskin? Kenapa ada kesusahan dan kemudahan? Kenapa ada kebahagiaan dan kesedihan? Bukankah setiap manusia harus merasakan kedua-duanya agar mereka paham tentang usaha, proses dan keberhasilan? Kenapa si kaya selalu merasakan kebahagiaan dan si miskin kesedihan? Kenapa hanya si kaya yang merasakan kemudahan dan si miskin yang merasakan kesusahan? Kenapa?”

“Berhenti Bata, kita sedang membahas mata pelajaran pengetahuan alam tentang kehidupan tumbuhan. Bukan kehidupan yang kau jelaskan” Potongnya lalu melanjutkan pembelajaran.

Sepulang sekolah

“Kau keren sekali tadi” Serunya sambil menepuk perlahan bahuku.
“Entahlah aku hanya mengatakan apa yang ada dipikiranku” Jawabku.
“Wih mantap, oh ya kau langsung ke Kang Ameng atau pulang?” Tanyanya.
“Aku langsung ke Kang Ameng, kaos ganti dan sandal jepit sudah kubawa di dalam tas” Jawabku sambil menunjukan dua barang itu kepadanya.
“Ya sudah aku pulang dulu, sampai jumpa esok” Pamitnya berlalu sambal melambaikan tangan yang kubalas dengan hal serupa.

Kang Ameng adalah seorang sortir koran yang menyortirkan korannya kepada asongan untuk dijual keliling di lampu merah, salah satu asongan koran tersebut adalah aku. Setelah pulang sekolah aku akan bekerja menjadi asongan koran di lampu merah dan jalanan yang macet. Memang tidak seberapa upah atau hasil yang kuterima, namun setidaknya aku tidak terlalu membebani ibuku yang lelah bekerja sepanjang hari.

“Kang” Sapaku.
“Cepat sekali kau datang, kau bolos sekolah lagi?” Tanyanya lalu memberikan tumpukan koran yang akan aku jualkan.
“Tidak, pergi dulu Kang” pamitku dengan sedikit berlari.
“Kasihan sekali kau bocah” Batinnya.

Menjadi tukang asongan koran bukanlah hal yang mudah, terbakar sinar matahari, merelakan diri kehujanan untuk melindungi koran agar tidak rusak, persaingan dengan tukang asongan koran lainnya serta pembeli yang suka membayar koran dengan seenaknya. Seperti yang kualami hari ini di tengah kemacetan jalan.

“Koran-koran, keluaran terbaru. Cuma lima ribu rupiah” Suara lantangku menjajakan koranditengah deru suara mesin kendaraan.
“Hei kau bocah, sini” Panggil seorang bapak supir mobil pick up.
“Iya pak, koran terbaru ini baru keluar”
“Aku ambil satu, berapa harganya?” Tanyanya.
“Lima ribu rupiah pak” Jawabku senang.
“Nih” Kata supir pick up tersebut sambil menyodorkan uang empat ribu rupiah.
“Kurang seribu pak” Ujarku.
“Hei kau anak gembel lihat sini, ini koran dirilis kemarin tentu saja aku hanya membayar segitu” Ucapnya enteng dan aku hanya diam saja sambil mengepalkan tangan.
“Sudah sana pergi” Usirnya.

Makian seperti itu sudah menjadi makanan sehari-hariku. Tidak hanya ketika bekerja, bahkan saat di sekolah pun sama. Nama-nama hinaan sering aku dengar, seperti Bata bau, gembel, anak tukang babu karena ibuku yang berprofesi sebagai pembantu, bahkan julukan anak tanpa bapak pernah sekali aku dengar karena aku tidak tahu siapa bapakku.

Selepas bekerja aku juga tidak langsung pulang, biasanya aku akan mampir ke atap sebuah gedung kosong menikmati senja yang berganti malam. Entah mengapa ketika aku melihat senja sambil mengingat hal buruk apa yang terjadi di hari itu, maka pikiran tentang hal buruk itu akan hilang seiring hilangnya senja. Dan kini aku tau mengapa ibuku memberiku nama Bata. Aku paham setelah memahami kehidupan yang telah aku jalani.  Bata, jenis batu yang lama akan proses pembuatannya. Menandakan bahwasanya ibuku ingin aku menjadi anak yang kuat dalam proses menjalani kehidupan hingga tidak ada satu hal pun yang mampu meretakan apalagi mengahancurkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *