Feminisme dan Stigma yang Beredar

ESSAY KARYA KADER

Oleh : Aufa Rafika Nur (Peserta DAD IMM AR Fachruddin 2021)

Feminisme dengan gerakan kesetaraan gender hanya akan merusak tatanan keluarga, agama, dan mengeksploitasi perempuan. Statement itu diucapkan oleh orang-orang yang bertentangan dengan feminisme. Padahal feminisme tidak melulu meperjuangkan terkait “kesamaan” melainkan pembebasan, dan Islam itu membebaskan. Maka, konsep tataran membebaskan dari ketertindasan terhadap perempuan tidak ada yang rancu antara Islam dan feminisme. Hal itu disampaikan oleh seorang feminis yang berusaha untuk menggeraikan bahwa feminisme mampu mengubah pandangan dunia terhadap perempuan, bahwa perempuan mampu diajak bekerja sama dengan laki-laki dalam mewujudkan gerakan pencerdasan serta menciptakan keadaan sosial tanpa diskriminasi dan pelecehan.

Feminisme adalah sebuah paradigma, sebuah pemahaman secara komprehensif tentang keadilan berbasis gender yang bisa menjadi pijakan untuk berbagai pemikiran, gerakan, maupun kebijakan. Gerakan ini dimulai di New York pada 1848 yang merupakan pertemuan pertama dengan menggunakan kata feminisme yang mulanya membahas tentang pentingnya perempuan mendapat hak pendidikan seperti lelaki. Feminisme juga lekat dengan pemikiran liberalisme, marxisme, dan sosialisme. Tetapi feminisme bukan suatu gerakan yang menentang pernyataan-pernyataan yang benar, feminisme tidak berusaha menjadi antitesis. Feminisme liberal/radikal tidak bisa menjadi patokan mutlak untuk menjadi seorang feminis.

Memang benar adanya bahwa feminisme berasal dari barat. Namun, feminisme juga menjadi bagian dalam sejarah kemerdekaan dan revolusi di Indonesia. Feminisme memang kurang populer di Indonesia karena ada tuntutan untuk menjadi pribumi dengan menolak hal-hal yang berbau dengan barat. Tapi kita bisa melihat contoh, Marxisme adalah ideologi barat yang diadaptasi oleh Soekarno menjadi marhaenisme, dan feminisme di Indonesia lebih terkenal dengan sebutan emansipasi yang tujuanya sama yaitu untuk menciptakan keadilan bagi seluruh perempuan di Indonesia dan membebaskan diri dari ketertindasan.

Gerakan sosial berperan penting dalam mengisahkan perjalanan gerakan perempuan Indonesia. Kelas priyayi di Jawa sangat sedikit ruang geraknya, tidak sebebas perempuan kelas menengah dan kebawah. Perempuan kelas menengah memiliki kemandirian ekonomi, dan perempuan kelas menengah ini menjadi kunci dalam pergerakan perempuan seperti memberantas buta huruf, membuka sekolah, bahkan sampai membuat partai politik.

Gerakan-gerakan feminis di Indonesia sejak awal beragam dan melengkapi, seperti gerakan perempuan Islam dari Muhammadiyah yaitu Aisyiyah, Wanita Taman Siswa, Wanita Katolik RI, dsb. Gerakan ini mendorong perempuan untuk bersatu, aktif secara organisasi dan juga politik. Tidak dapat kita pungkiri bahwa yang menginisiasi Palang Merah Indonesia, sekolah, program kesehatan, hingga ekonomi arisan berasal dari organisasi perempuan.

Feminisme juga sebagai sebuah pandangan yang membahas terkait mengenai kerja dan perempuan. Mengapa banyak terjadi kesenjangan bagi pekerja perempuan dan lelaki? Mengapa banyak pekerja perempuan sulit untuk mencapai posisi-posisi penting dalam mengambil keputusan? Dan mengapa rata-rata perempuan memiliki gaji lebih rendah? Karena dalam dunia kerja maupun masyarakat perempuan dilihat hanya sebagai penyokong bukan pekerja utama. Lalu, yang dapat kita lakukan sebagai perempuan untuk memperbaiki nasibnya adalah memahami dulu lingkungan sekitarnya. Pandangan feminis memberikan sensitivitas gender, yaitu semacam kepekaan atas kondisi yang tidak layak didapatkan atau dialami oleh perempuan dan mengapa hal itu terjadi. Perbedaan pengalaman  dan posisi perempuan tentu membutuhkan analisis dan penyelesaian yang berbeda.

Banyaknya aliran feminisme bukan berarti feminisme terpecah, melainkan menyediakan pisau bedah yang paling cocok untuk menganalisis keadaan tertentu. Perbedaan aliran feminis bukan alasan untuk saling menjatuhkan. Hal tersebut dibutuhkan untuk saling kerjasama di bagian-bagian yang cocok sehingga bisa tercapai keadilan untuk perempuan.

Selama saya mempelajari mengenai feminisme tidak ada tuntutan atau paksaan untuk menjadi seorang feminis yang seperti apa, tidak berarti kita harus menjadi seorang feminis yang liberal, radikal atau sosial, tetapi kita bisa menjadi seorang feminis yang sesuai dengan keadaan kita, yaitu tidak menentang ketetapan-ketetapan yang sudah di gariskan. (jika ada yang salah boleh diluruskan)

Contoh yang bisa kita ambil yang sedang marak saat ini adalah Child Free yaitu niat menikah tapi tidak mau punya anak sebagaimana dikatakan oleh salah satu artis online di youtube, yang dikemas dengan self choice. Slogan mau enak tanpa anak yang didorong oleh paham individualisme dan juga feminisme pada akhirnya melandasi pola hidup individualistis. Isu-isu ketubuhan perempuan khususnya mutlak mengelola organ reproduksinya sendiri tanpa intervensi negara dan agama.

Provokasi feminis bahwa perempuan dijajah oleh laki-laki karena mengandung dan berketurunan akhirnya membuahkan merosotnya pertumbuhan penduduk. Bahkan dibeberapa negara mencapai angka minus yaitu jumlah yang mati lebih banyak daripada angka yang lahir. Meskipun beragam benefit diberikan kepada kaum perempuan yang mau punya anak yang meliputi pra-pasca kelahiran, tunjangan pendidikan, sosial, dll namun dampak provokasi Child Free dan paham individualisme serta paham feminisme terlanjur mengakar kokoh dalam gaya hidup masyarakat barat yang sekarang sudah masuk ke gaya hidup masyarakat Indonesia.

Sedangkan pandangan Islam mengenai pernikahan adalah pernikahan adalah ibadah yang menyempurnakan agama bagi kedua mempelai. Sedang anak adalah investasi orangtua yang melanjutkan amal jariyah berterusan tanpa terputus meskipun nafasnya telah terhenti dan jasadnya terkubur di dalam tanah. Keluarga adalah mihrab untuk bertaqarrub mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana mihrab shalat. Kampanye tidak mau punya anak hanyalah produk generasi pendek akal, pendek cita-cita.

Namun, kembali lagi ke topik awal kita bisa menjadi feminis yang seperti apa yang kitamau, seperti apa yang kita butuhkan, kita bisa menjadi feminis yang tetap memperjuangkan keadilan untuk kaum perempuan, melawan ketertindasan tanpa keluar dari batasan kodrat seorang perempuan.

Hidup Perempuan Indonesia!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *